Mampir ke Rumah Raja : Rumah Adat Karo Lingga

Mampir ke Rumah Raja : Rumah Adat Karo Lingga

Pernah mampir ke rumah Raja? Pasti pernah lah ya. Keraton Jogja kan juga istana/rumahnya raja ya. Tapi kali ini, saya main (cielah main) ke rumah Raja Karo, yang letaknya tepat di Desa Lingga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Sesampainya disana, saya sempat bingung karena kami tak menemukan rumah adat yang dimaksud, padahal kami sudah mengikuti arah GPS. Setelah menggunakan GPS lainnya yaitu Gunakan Penduduk Sekitar, ternyata titik GPS Global Positioning System nya salah, kami harus lanjut lagi sekitar 500 meter dari titik tersebut. Tak lama, kami masuk kedalam sebuah komplek pemukiman yang cukup ramai. Dari komplek ini, sudah terlihat atap-atap rumah adat Karo yang terlihat tinggi menjulang.


Warga lokal biasa menyebutnya Rumah Gerga. Selain Rumah Gerga, terdapat juga Rumah Belang Ayo dan Sapo Ganjang. Bedanya, Rumah Gerga dan Belang Ayo dikhususkan untuk tinggal, sedangkan Sapo Ganjang hanya untuk bermusyarawah. Dulunya, Rumah Gerga ini merupakan Rumah Raja Karo, yaitu kerajaan Sibayak Sinulingga. Dulunya, ada sekitar 28 rumah adat disini, tetapi seiring perkembangan zaman, hanya tersisa dua lagi. Dikarenakan tak ada lagi yang mengurusnya.

Rumah Adat Lingga sendiri ditempati hingga 12 keluarga! 12 lho, karena rumahnya besar sekali. Jadi, didalam rumah itu terdapat 6 buah Para (tempat masak) yang setiap Para nya digunakan oleh dua keluarga. Jadi, kalau ada keluarga satu beli satu ayam, ayamnya harus dibagi dua dengan keluarga lain di satu Para yang sama.

Rumah Gerga terdapat beberapa tingkat. Karena berbentuk rumah panggung, otomatis terdapat tingkatan paling bawah. Tingkat paling bawah untuk ternak, biasanya digunakan untuk berternak ayam. Tingkat kedua, yaitu Gundur, persis diatas tempat ternak. Gundur untuk menyimpan sayuran. Lalu tingkat ketiga adalah tempat untuk tidur. Dan tingkat paling atas adalah Paragancang yang digunakan untuk menyimpan padi. Di Rumah Lingga ini, terdapat beberapa cerita unik mengenai keanehan atap bocor dan ikat pasak.

Ada lagi beberapa bagian yang unik dari rumah ini, misalnya Ayo-Ayo yaitu hiasan kepala banteng yang ada diatas atap rumah sebagai penolak bala. Atau parit panjang yang dulunya berada dibawah semua rumah adat Karo sebagai pelindunt dari mahkluk halus. Motif-motif yang diukir didepan rumah juga memiliki filosofinya masing-masing, seperti ukiran tumbuhan dan lain-lain.

Saya juga sempat kaget ketika mengetahui jika rumah adat Karo dibangun tanpa paku, hanya menggunakan ikat dan pasak. Pasak merupakan kayu yang dilubangi lalu lubangnya dimasukkan dengan kayu lainnya, sedangkan ikat biasanya menggunakan ijuk atau rotan. Hal yang lebih aneh lagi, kalau tak ada api yang dinyalakan di atas Para selama tiga hari, atap rumah ini akan bocor jika hujan. Sampai sekarang, misteri ini belum terpecahkan, mengapa atap yang terkena asap dari Para otomatis tidak akan bocor. Maka dari itu, setiap malam api di Para akan dinyalakan agar tidak bocor.